Di tanah lapang itu, Sumantri
tersungkur. Rahwana berhasil membunuhnya setelah pertempuran yang panjang.
Tubuh anak muda itu setengah hancur. Ya, Sumantri gugur dengan mengenaskan.
Tapi ia segera melesak ke surga. Dan di sana, Patih Suwondo itu bertemu dengan
Sukrosono, adiknya yang setia. Mereka seperti mengulang kembali masa
kanak-kanak yang bahagia, melupakan dendam dan rasa bersalah. Tragedi ”anak
panah” di antara keduanya bagai tak pernah terjadi.Kita kenang perjalanan
Sumantri sebelum menjadi Patih Suwondo. Sejak awal, anak muda ini memang telah
menyiapkan masa depannya. Ia menuju Maespati untuk mengabdi pada Prabu Harjuna
Sasrabahu. Sebab ia merasa mampu, juga pantas . Pada pagi yang belum sempurna,
ia melangkah ke utara. Ia tinggalkan Sukrosono, adiknya yang bocah bajang yang
buruk rupa, keriting, cebol, dan agak hitam itu. Dengan penampilan fisik
semacam itu, mungkin Sumantri merasa adiknya hanya akan menjadi perintang.
Meski ia tahu, kesaktian Sukrosono satu tingkat di atasnya. ”Aku sengaja pergi
pagi-pagi benar pada saat kau masih lelap. Maafkan aku, adikku,” kata Sumantri
pada hari kepergiannya.
Barangkali Sumantri memang laki-laki
pilihan dewa. Dalam suatu pertempuran, ia berhasil membebaskan Negeri Magada
dari kepungan pasukan Widarba. Ia menang telak. Pasukannya membawa banyak
tawanan dan rampasan; emas-berlian, ternak, dan para putri. Tapi Sumantri tak
segera pulang. Di perbatasan, ia justru mengirim surat ke Maespati dan menantang
Harjuna Sasrabahu perang tanding. Ada kesombongan yang tiba-tiba melonjak. Juga
ketidakpercayaan akan kekuatan dan kesaktian sang raja.Setidaknya, ada dua
tafsir tentang sikap itu. Pertama, Sumantri sekadar ingin lebih meyakinkan diri
tentang kepatutan raja yang ia abdi. Kedua, ia tengah mabuk kemenangan. Apa pun
alasannya, Sumantri akhirnya kalah melawan prabu Harjuna Sasrabahu , dan ia
menerima hukumannya: untuk memindahkan Taman Sriwedari dari khayangan ke
istana. Sebuah tugas yang mustahil dan membuat Sumantri hampir putus asa.
Namur disaat itu Sukrosono adiknya
datang. Dengan kesaktiannya, tugas itu ia selesaikan dengan baik. Sayang,
kehadiran Sukrosono yang buruk rupa membuat kekacauan para penghuni keputren
yang sedang menyaksikan keindahan taman Sriwedari. Sumantri malu dan meminta
adiknya segera pergi. Tapi Sukrosono menolak. Hingga akhirnya Sumantri
membidikkan anak panah ke arahnya. Tanpa diduga anak panah lepas. Sumantri
kaget, tapi terlambat. Adiknya tewas terkena panahnya. Manusia macam apakah
Sumantri? Dalam Tripama, sebagai patih Suwondo ia disebutkan memiliki tiga
kelebihan; pandai, selalu menyelesaikan pekerjaannya, dan jika perlu
mempertaruhkan nyawa. Tapi serat itu juga menyimpan satu pertanyaan penting;
apakah Sumantri memiliki hati nurani? Itulah masalahnya. Dan tak hanya dalam
jagad pewayangan, di dunia yang real sekarang ini -komunitas kesenian atau
apapun- Sumantri berkeliaran. Ia mengambil manfaat pada saat membutuhkan,
kemudian mencampakkan ketika mulai merasa jijik.