Keutamaan Dzikir "Allahu Akbar"
Menurut Imam Ibnu Athaillah As Sakandary Dzikir “Allahu akbar”, di dalamnya ada
lima perspektif:
Pertama: Dalam “Allahu Akbar” ada penyebutan Allah Ta’ala pada diriNya Sendiri, pentauhidan, pengagungan dan penghormatan atas keagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar dibanding penyebutan makhlukNya yang lemah, sangat butuh, dan pentauhidan makhluk kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha Mencukupi dan Maha Terpuji.
Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih agung dibanding dzikir dengan Asma’-asma’Nya yang lain.
Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta’ala pada hamba-Nya di zaman Azali sebelum hamba-Nya ada, adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang menyebabkan dzikirnya hamba saat ini. Dzikirnya Allah Ta’ala tersebut lebih dahulu, lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta’ala berfirman : “Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih besar.”
Keempat: Sebenarnya mengingat Allah Swt, di dalam sholat lebih utama dan lebih besar dibanding mengingat-Nya di luar sholat. Menyaksikan (musyahadah) pada
Allah Ta’ala (Yang Diingat) di dalam sholat lebih agung dan lebih sempurna serta lebih besar ketimbang sholatnya.
Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta dorongan-Nya kepadamu melalui ajakan-Nya kepadamu agar taat kepada -Nya, adalah nikmat paling besar dibanding dzikir anda kepada-Nya, dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena anda semua tidak akan pernah mampu mensyukuri nikmat-Nya. Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda: “Aku tidak mampu memuji pada-Mu, Engkau, sebagaimana Engkau memuji-Mu atas DiriMu.”
Artinya, “aku tidak mampu,” padahal beliau adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan paling tinggi derajatnya dan paling utama. Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya, padahal beliau adalah paling tahu dan paling ma’rifat – semoga sholawat dan salam Allah melimpah padanya dan keluarganya -.
Setelah kita mentauhidkan Allah Swt, yang dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga sholat menjadi rukun Islam yang kedua. Dalam sabda Rasulullah Saw:
“Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya menunggalkan Allah dan menegakkan sholat… dst”. Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukanya, Allahu Akbar. Allah tidak menjadikan salah satu Asma-asma’Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom, kecuali hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw, melarangnya , demikian juga untuk Lafadz Adzan, tetap menggunakan Takbir tersebut, begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat. Jadi Nama agung tersebut lebih utama dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi munajat-munajat, bukan hanya dalam sholat atau lainnya.
Dalam hadits disebutkan:
“Aku berada pada dugaan hamba-Ku apabila hamba berdzikir pada-Ku. Maka apabila ia berdzikir kepada-Ku dalam jiwanya, Aku mengingatnya dalam Jiwa-Ku. Dan
jika ia berdzikir padaKu dengan kesendirianNya, maka Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu. Dan jika ia berdzikir di tengah padang (keramaian) maka Aku
pun mengingatnya di keramaian lebih baik darinya.” Allah swt. Berfirman:”Dzikirlah kepada-Ku maka Aku berdzikir kepadamu.”
Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir dibanding sholat dari esensi ayat tersebut, yaitu firman Allah Swt: “Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan dan kemungkaran.”
Yang walau demikian merupakan dzikir teragung, namun Dzikir “Allah” itu lebih besar dari pada sholat dan dibanding setiap ibadah. Abu Darda’ meriwayatkan dari Nabi
Saw, beliau bersabda : “Ingatlah, maukah aku beri kabar kalian tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang Rajamu, dan
lebih baik bagimu ketimbang memberikan emas dan perak, dan lebih baik ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu bertempur di mana kalian memukul leher mereka
dan mereka pun membalas memukul lehermu?” Mereka menjawab, “Ya, kami mau..” Rasulullah saw, bersabda, “Dzikrullah.”
Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal :
“Tak ada amal manusia mana pun yang lebih menyelamatkan baginya dari azdab Allah, disbanding dzikrullah.”
Makna Dzikrullah bagi hamba-Nya adalah bahwa yang berdzikir kepada-Nya itu disertai Tauhid, maka Allah mengingatnya dengan syurga dan pahala. Lalu Allah Swt berfirman: “Maka Allah memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.”
Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu “Allah”, dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya, Allah swt berfirman:
“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepada-Ku tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat…”
Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya, Allah memberikan tambahan ni’mat berlimpah :
“Bila kalian bersyukur maka Aku bakal menambah (ni’matKu) kepadamu…”
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir melainkan Allah mengingat mereka sebagai imbalan padanya.
Bila sang hamba adalah seorang ‘arif (orang yang ma’rifat) berdzikir dengan kema’rifatannya, maka Allah Swt, mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk musyahadahnya sang ‘arif.
Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan imannya, Allah Swt, mengingatnya dengan rahmat dan ridlo-Nya.
Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat dengan pertaubatannya, Allah Swt, mengingatnya dengan penerimaan dan ampunan-Nya.
Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang mengakui kesalahannya, maka Allah Swt, mengingatnya dengan tutup dan pengampunan-Nya.
Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka Allah Swt mengingatnya dengan adzab dan laknat-Nya.
Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan kekufurannya, maka Allah Swt, mengingatnya dengan azab dan siksa-Nya.
Siapa yang bertahlil pada-Nya, Allah Swt, menyegerakan Diri-Nya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah Swt, membagusinya
Siapa yang memuji-Nya Allah Swt, mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah Swt, mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah Swt, menerimanya.
Kondisi sang hamba itu berputar pada empat hal :
Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka Allah Swt, mengingatkannya dengan menampakkan anugerah dalam taufiq-Nya di dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah Swt mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga: Ketika dalam keadaan meraih nikmat, Allah Swt mengingatkannya melalui syukur kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah mengingatkannya melalui sabar.
Karena itu dalam Dzikrullah ada lima anugerah :
1. Adanya Ridlo Allah Swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga dari godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.
Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat mereka.
•Tak ada kema’rifatan bagi kaum a’rifin, melainkan karena pengenalan Allah Swt kepada mereka.
•Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun (hamba yang manunggal) melainkan karena ilmunya Allah kepada mereka.
•Tak seorang pun orang yang taat kepada-Nya, kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
•Tak ada rasa cinta sang pecinta kepada-Nya, kecuali karena anugerah khusus CintaNya kepada mereka.
•Tak seorang pun yang kontra kepada Allah Swt, kecuali karena kehinaan yang ditimpakan Allah Swt, kepada mereka.
•Setiap nikmat dari-Nya adalah pemberian. Dan setiap cobaan dari-Nya adalah ketentuan. Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang mendahului, akan muncul secara
nyata di kemudian hari.
Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid merupakan sesuatu antara penafiaan dan penetapan. Awalnya adalah “Laa Ilaaha”, yang merupakan penafian, pembebasan,
pengingkaran, penentangan, dan akhinya adalah “Illallah”, sebagai kebangkitan, pengukuhan, iman, tahid, ma’rifat, Islam, syahadat dan cahaya-cahaya.
“Laa” adalah menafikan semua sifat Uluhiyah dari segala hal yang tak berhak menyandangnya dan tidak wajib padanya. Sedangkan “Illallah” merupakan pengukuhan
Sifat Uluhiyah bagi yang berhak dan wajib secara hakikat.
Secara maknawi terpadu dalam firman Allah Swt :
“Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka benar-benar telah memegang teguh tali yang kuat.”
“Laa Ilaaha Illallah”, untuk umum berarti demi penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk suatu penetapan atas
Kemaha-Esaan, sekaligus menafikan dualisme.
“Laa Ilaaha Illallah”, bagi kalangan khusus sebagai penguat agama mereka, menambah cahaya harapan melalui penetapan Dzat dan Sifat, menyucikan dari perubahan
sifat-sifat baru dan membuang ancaman bahayanya.
“Laa Ilaaha Illallah”, untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan mampu berdzikir, mampu memandang anugerah serta
fadhal dan mampu bersyukur, atas upaya syukurnya.
Pertama: Dalam “Allahu Akbar” ada penyebutan Allah Ta’ala pada diriNya Sendiri, pentauhidan, pengagungan dan penghormatan atas keagunganNya, yang lebih agung dan lebih besar dibanding penyebutan makhlukNya yang lemah, sangat butuh, dan pentauhidan makhluk kepadaNya. Karena Allah swt-lah Yang Maha Mencukupi dan Maha Terpuji.
Kedua: Dzikir dengan Nama tersebut lebih agung dibanding dzikir dengan Asma’-asma’Nya yang lain.
Ketiga: Bahwa Dzikirnya Allah Ta’ala pada hamba-Nya di zaman Azali sebelum hamba-Nya ada, adalah Dzikir teragung dan terbesar, yang menyebabkan dzikirnya hamba saat ini. Dzikirnya Allah Ta’ala tersebut lebih dahulu, lebih sempurta, lebih luhur, lebih tinggi, lebih mulia dan lebih terhormat. Dan Allah Ta’ala berfirman : “Niscaya Dzikirnya Allah itu lebih besar.”
Keempat: Sebenarnya mengingat Allah Swt, di dalam sholat lebih utama dan lebih besar dibanding mengingat-Nya di luar sholat. Menyaksikan (musyahadah) pada
Allah Ta’ala (Yang Diingat) di dalam sholat lebih agung dan lebih sempurna serta lebih besar ketimbang sholatnya.
Kelima: Bahwa mengingat Allah atas berbagai nikmat yang agung dan anugerah mulia, serta dorongan-Nya kepadamu melalui ajakan-Nya kepadamu agar taat kepada -Nya, adalah nikmat paling besar dibanding dzikir anda kepada-Nya, dengan mengingat nikmat-nikmat itu, karena anda semua tidak akan pernah mampu mensyukuri nikmat-Nya. Karena itu Nabi Muhammad saw, bersabda: “Aku tidak mampu memuji pada-Mu, Engkau, sebagaimana Engkau memuji-Mu atas DiriMu.”
Artinya, “aku tidak mampu,” padahal beliau adalah makhluk paling tahu, paling mulia, dan paling tinggi derajatnya dan paling utama. Justru Nabi saw, menampakkan kelemahannya, padahal beliau adalah paling tahu dan paling ma’rifat – semoga sholawat dan salam Allah melimpah padanya dan keluarganya -.
Setelah kita mentauhidkan Allah Swt, yang dinilai lebih agung ketimbang sholat, sehingga sholat menjadi rukun Islam yang kedua. Dalam sabda Rasulullah Saw:
“Islam ditegakkan atas lima: Hendaknya menunggalkan Allah dan menegakkan sholat… dst”. Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukanya, Allahu Akbar. Allah tidak menjadikan salah satu Asma-asma’Nya yang lain, untuk Takbirotul Ihrom, kecuali hanya Allahu Akbar. Karena Nabi saw, melarangnya , demikian juga untuk Lafadz Adzan, tetap menggunakan Takbir tersebut, begitu pun setiap takbir dalam gerakan sholat. Jadi Nama agung tersebut lebih utama dibanding Nama-nama lainnya, lebih dekat bagi munajat-munajat, bukan hanya dalam sholat atau lainnya.
Dalam hadits disebutkan:
“Aku berada pada dugaan hamba-Ku apabila hamba berdzikir pada-Ku. Maka apabila ia berdzikir kepada-Ku dalam jiwanya, Aku mengingatnya dalam Jiwa-Ku. Dan
jika ia berdzikir padaKu dengan kesendirianNya, maka Aku pun mengingat dengan KemahasendirianKu. Dan jika ia berdzikir di tengah padang (keramaian) maka Aku
pun mengingatnya di keramaian lebih baik darinya.” Allah swt. Berfirman:”Dzikirlah kepada-Ku maka Aku berdzikir kepadamu.”
Hal yang menunjukkan keutamaan dzikir dibanding sholat dari esensi ayat tersebut, yaitu firman Allah Swt: “Sesungguhnya sholat itu mencegah keburukan dan kemungkaran.”
Yang walau demikian merupakan dzikir teragung, namun Dzikir “Allah” itu lebih besar dari pada sholat dan dibanding setiap ibadah. Abu Darda’ meriwayatkan dari Nabi
Saw, beliau bersabda : “Ingatlah, maukah aku beri kabar kalian tentang amal terbaikmu dan lebih luhur dalam derajatmu, lebih bersih di hadapan Sang Rajamu, dan
lebih baik bagimu ketimbang memberikan emas dan perak, dan lebih baik ketimbang kalian bertemu musuhmu lalu bertempur di mana kalian memukul leher mereka
dan mereka pun membalas memukul lehermu?” Mereka menjawab, “Ya, kami mau..” Rasulullah saw, bersabda, “Dzikrullah.”
Juga dalam hadits yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal :
“Tak ada amal manusia mana pun yang lebih menyelamatkan baginya dari azdab Allah, disbanding dzikrullah.”
Makna Dzikrullah bagi hamba-Nya adalah bahwa yang berdzikir kepada-Nya itu disertai Tauhid, maka Allah mengingatnya dengan syurga dan pahala. Lalu Allah Swt berfirman: “Maka Allah memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakana, yaitu syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.”
Dengan dzikir melalui Ismul Mufrad, yaitu “Allah”, dan berdoa dengan ikhlas kepadaNya, Allah swt berfirman:
“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepada-Ku tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat…”
Siapa yang berdzikir dengan rasa syukurnya, Allah memberikan tambahan ni’mat berlimpah :
“Bila kalian bersyukur maka Aku bakal menambah (ni’matKu) kepadamu…”
Tak satu pun hamba Allah yang berdzikir melainkan Allah mengingat mereka sebagai imbalan padanya.
Bila sang hamba adalah seorang ‘arif (orang yang ma’rifat) berdzikir dengan kema’rifatannya, maka Allah Swt, mengingatnya melalui penyingkapan hijab untuk musyahadahnya sang ‘arif.
Bila yang berdzikir adalah mukmin dengan imannya, Allah Swt, mengingatnya dengan rahmat dan ridlo-Nya.
Bila yang berdzikir adalah orang yang taubat dengan pertaubatannya, Allah Swt, mengingatnya dengan penerimaan dan ampunan-Nya.
Bila yang berdzikir adalah ahli maksiat yang mengakui kesalahannya, maka Allah Swt, mengingatnya dengan tutup dan pengampunan-Nya.
Jika yang berdzikir adalah sang penyimpang dengan penyimpangan dan kealpaannya, maka Allah Swt mengingatnya dengan adzab dan laknat-Nya.
Bila yang berdzikir adalah si kafir dengan kekufurannya, maka Allah Swt, mengingatnya dengan azab dan siksa-Nya.
Siapa yang bertahlil pada-Nya, Allah Swt, menyegerakan Diri-Nya padanya
Siapa yang bertasbih, Allah Swt, membagusinya
Siapa yang memuji-Nya Allah Swt, mengukuhkannya.
Siapa yang mohon ampun padaNya, Allah Swt, mengampuninya.
Siapa yang kembali kepadaNya, Allah Swt, menerimanya.
Kondisi sang hamba itu berputar pada empat hal :
Pertama: Ketika dalam keadaan taat, maka Allah Swt, mengingatkannya dengan menampakkan anugerah dalam taufiq-Nya di dalam taat itu.
Kedua: Ketika si hamba maksiat, Allah Swt mengingatkannya melalui tutup dan taubat.
Ketiga: Ketika dalam keadaan meraih nikmat, Allah Swt mengingatkannya melalui syukur kepadaNya.
Keempat: Ketika dalam cobaan, Allah mengingatkannya melalui sabar.
Karena itu dalam Dzikrullah ada lima anugerah :
1. Adanya Ridlo Allah Swt.
2. Adanya kelembutan qalbu.
3. Bertambahnya kebaikan.
4. Terjaga dari godaan syetan.
5. Terhalang dari tindak maksiat.
Siapa pun yang berdzikir, Allah pasti mengingat mereka.
•Tak ada kema’rifatan bagi kaum a’rifin, melainkan karena pengenalan Allah Swt kepada mereka.
•Dan tak seorang pun dari kalangan Muwahhidun (hamba yang manunggal) melainkan karena ilmunya Allah kepada mereka.
•Tak seorang pun orang yang taat kepada-Nya, kecuali karena taufiqNya kepada mereka.
•Tak ada rasa cinta sang pecinta kepada-Nya, kecuali karena anugerah khusus CintaNya kepada mereka.
•Tak seorang pun yang kontra kepada Allah Swt, kecuali karena kehinaan yang ditimpakan Allah Swt, kepada mereka.
•Setiap nikmat dari-Nya adalah pemberian. Dan setiap cobaan dari-Nya adalah ketentuan. Sedangkan setiap rahasia tersembunyi yang mendahului, akan muncul secara
nyata di kemudian hari.
Perlu diketahui bahwa kalimat tauhid merupakan sesuatu antara penafiaan dan penetapan. Awalnya adalah “Laa Ilaaha”, yang merupakan penafian, pembebasan,
pengingkaran, penentangan, dan akhinya adalah “Illallah”, sebagai kebangkitan, pengukuhan, iman, tahid, ma’rifat, Islam, syahadat dan cahaya-cahaya.
“Laa” adalah menafikan semua sifat Uluhiyah dari segala hal yang tak berhak menyandangnya dan tidak wajib padanya. Sedangkan “Illallah” merupakan pengukuhan
Sifat Uluhiyah bagi yang berhak dan wajib secara hakikat.
Secara maknawi terpadu dalam firman Allah Swt :
“Siapa yang kufur pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka benar-benar telah memegang teguh tali yang kuat.”
“Laa Ilaaha Illallah”, untuk umum berarti demi penyucian terhapad pemahaman mereka,.dari kejumbuhan khayalan imajiner mereka, untuk suatu penetapan atas
Kemaha-Esaan, sekaligus menafikan dualisme.
“Laa Ilaaha Illallah”, bagi kalangan khusus sebagai penguat agama mereka, menambah cahaya harapan melalui penetapan Dzat dan Sifat, menyucikan dari perubahan
sifat-sifat baru dan membuang ancaman bahayanya.
“Laa Ilaaha Illallah”, untuk kalangan lebih khusus, justru sebagai sikap tanzih (penyucian) terhadap perasaan mampu berdzikir, mampu memandang anugerah serta
fadhal dan mampu bersyukur, atas upaya syukurnya.